Kongres Perempuan Indonesia merupakan salah satu gerakan yang diadakan oleh kaum perempuan pada tahun 1928-1941 dalam upaya membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sekaligus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan diskriminasi.
Tidak sanggup dipungkiri bahwa kaum perempuan mempunyai tugas penting dalam usaha untuk kemerdekaan serta awal-awal pembangunan negara kesatuan Indonesia. Namun sedikit literatur yang menulis wacana sejarah maupun peringatan monumental yang dilakukan oleh perempuan Indonesia. Hal ini disebabkan kaum perempuan tidak berada dalam posisi pembuat keputusan atau memegang posisi menentukan di dalam lingkup sejarah nasional. Selain itu, di dalam usaha nasional, kaum perempuan lebih memperjuangkan kepentingan keluarga, perempuan, masyarakat secara umum serta tidak ingin menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki.
Namun, para perempuan Indonesia lalu menciptakan sebuah wadah untuk mewakili suara-suara kepentingan kaum perempuan dalam usaha menentang kolonialisme pada waktu itu dan usaha untuk mengubah keadaan masyarakat dalam jangkauan yang luas yaitu seluruh perempuan bangsa Indonesia. Salah satunya yaitu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia.
Beberapa perkumpulan perempuan yang hadir, antara lain Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika, Putri Indonesia dan lain-lain.
Susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia I (persiapan kongres dilakukan di Jakarta) adalah: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia I
Hasil Kongres Perempuan Indonesia II
Pada ketika itu, pemerintah kolonial telah menawarkan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya yaitu Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di banyak sekali daerah. Akan tetapi lantaran perempuan belum mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak memilih.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia III
Perempuan yang terlibat dalam Kongres Perempuan yaitu para perempuan zamannya. Perempuan yang menentukan untuk memakai kebebasannya untuk berjuang bagi masa depan bangsa Indonesia, khususnya perempuan. Saat ini, Badan Kongres Perempuan Indonesia itu berubah nama menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Referensi: Umi. L, “Kongres Koalisi Perempuan, Gerakan Kebangkitan Perempuan Indonesia” bahan Kongres Koalisi Perempuan Indonesia 1998, Yogyakarta
Merujuk ke reportase Kongres Perempuan Pertama yang dibuat oleh koran Isteri, yang diterbitkan pada Mei 1929, disebutkan ada 1000 perempuan yang hadir di pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama.
Sedangkan laporan Rangkayo Khairul Syamsu Datuk Tumenggung alias Nj Toemenggoeng, sebagaimana dikutip oleh Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Sebuah Tinjauan, jumlah perempuan yang hadir di pertemuan itu sekitar 600 orang.
Perempuan-perempuan itu berasal dari 30 organisasi perempuan, ibarat Aisyiyah, Boedi Rini, Boedi Wanito, Darmo Laksmi, Jong Islamieten Bond, Jong Java, Karti Wara, Koesoemo Rini, Margining Kaoetaman, Nahdatoel Fataat, Panti Krido Wanito, Poetri Boedi Soedjati, Poetri Indonesia, Roekoen Wanodijo, Santjaja Rini, Sarekat Islam belahan Istri, Wanita Katholiek, Wanito Kentjono, Wanita Oetomo, Wanito Moeljo, Wanito Sedjati, dan Wanito Taman Siswa.
Kalau dilihat komposisi organisasi itu, sebagian besar berasal dari sayap organisasi nasional yang sudah ada, ibarat sayap Moehammadiyah (Aisyiyah), Jong Islamieten Bond, Sarekat Islam, PNI, Jong Java, Pemuda Indonesia, dan Taman Siswa. Juga organisasi perempuan berbasis agama, ibarat Nahdatoel Fataat, Wanita Katholiek, dan Wanita Moeljo.
Kedua, siapa Tokoh Yang Menonjol di Kongres itu?
Susan Blackburn mencatat ada 22 perempuan yang paling menonjol di Kongres itu, baik sebagai penggagas maupun yang berpidato di forum-forum umum Kongres.
Aktivis perempuan yang disebut penggagas Kongres itu yaitu perempuan lajang berusia 21 tahun, Sujatin Kartowijono. Dia yaitu penggagas Jong Java, yang belakangan mendirikan organisasi Poetri Indonesia.
Sujatin lalu berhasil mengajak dua tokoh perempuan yang lain, yaitu R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo dan Nyi Hadjar Dewantara dari Taman Siswa. Berkat pemberian kedua tokoh ini, ide Sujatin berterima di banyak organisasi perempuan, termasuk Aisyiyah.
Sujatin sendiri menceritakan, gagasan penyelenggaran Kongres itu tiba dari guru-guru perempuan muda yang terhimpun dalam Jong Java. Mereka terilhami oleh keberhasilan Kongres Pemuda pada bulan Oktober 1928.
Sementara tokoh yang menonjol di lembaga yaitu Siti Moendjijah dari Aisyiyah dan Siti Soendari dari Poetri Indonesia. Keduanya merajai forum-forum umum dengan keahlian beretorika dan berpidato.
Yang paling menonjol yaitu Siti Soendari. Selain gaya pidato dan retorikanya yang seakan menggandakan Sukarno, sehingga tampak berapi-api dan berkobar-kobar, tetapi isi pidatonya juga ditunjang oleh wawasan dan pengetahuan yang luas.
Ketiga, apa informasi yang lebih banyak didominasi di Kongres?
Isu yang lebih banyak didominasi diangkat dalam lembaga Kongres yaitu posisi dan hak perempuan dalam perkawinan, penolakan terhadap poligami, pendidikan perempuan, perhatian terhadap janda dan anak-yatim, dan perlunya pembentukan semacam tubuh bersama yang memayungi semua organisasi perempuan.
Keempat, apa yang informasi yang paling diperdebatkan di Kongres?
Isu yang paling diperdebatkan di Kongres yaitu soal posisi perempuan dalam perkawinan dan penolakan terhadap poligami. Dua informasi ini yang membelah penerima Kongres dan organisasi yang diwakilinya terbelah.
Organisasi perempuan berbasis Islam, terutama Aisyiah dan Jong Islamieten Bond, membela perkawinan Islam, termasuk poligami. Sebaliknya, organisasi perempuan berbasis nasionalis dan sekuler memperjuangkan reformasi terhadap Undang-Undang Perkawinan untuk memberi tempat kepada hak-hak perempuan, abolisi perkawinan anak, dan pelarangan poligami.
Dua kubu ini punya tokoh masing-masing yang tampil memukau di forum: dari barisan Islam ada Siti Moendjijah (Aisyiyah), sedangkan dari barisan nasionalis-sekuler ada Siti Soendari (Poetri Indonesia).
Dalam informasi pendidikan, kendati kedua kubu sama-sama menganggap perlu memperbanyak lembaga pendidikan untuk perempuan, tetapi agak berbeda dalam soal isian atau muatan kurikulumnya.
Nah, saking menajamnya perbedaan soal informasi perkawinan dan poligami, beberapa organisasi perempuan mengusulkan biar perdebatan pada tema itu diminimalkan. Sebab, semangat utama yang dikejar oleh Kongres yaitu persatuan.
Kelima, apa hasil Kongres Perempuan?
Meski diwarnai perdebatan sengit, tetapi Kongres tetap berhasil merumuskan beberapa keputusan penting: pertama, pembentukan tubuh permufakatan berjulukan Perikatan Perempuan Indonesia; kedua, pembentukan studiefonds untuk membantu pendidikan anak perempuan; ketiga, memperkuat pendidikan kepanduan; keempat, mencegah perkawinan anak-anak; kelima, mengirim mosi kepada pemerintah biar menawarkan dana untuk janda dan anak yatim; dan keenam, mengirim mosi kepada Majelis Agama biar tiap taklik dikuatkan dengan surat sesuai dengan anutan agama Islam.
Pencarian yang paling Populer
Tidak sanggup dipungkiri bahwa kaum perempuan mempunyai tugas penting dalam usaha untuk kemerdekaan serta awal-awal pembangunan negara kesatuan Indonesia. Namun sedikit literatur yang menulis wacana sejarah maupun peringatan monumental yang dilakukan oleh perempuan Indonesia. Hal ini disebabkan kaum perempuan tidak berada dalam posisi pembuat keputusan atau memegang posisi menentukan di dalam lingkup sejarah nasional. Selain itu, di dalam usaha nasional, kaum perempuan lebih memperjuangkan kepentingan keluarga, perempuan, masyarakat secara umum serta tidak ingin menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki.
Namun, para perempuan Indonesia lalu menciptakan sebuah wadah untuk mewakili suara-suara kepentingan kaum perempuan dalam usaha menentang kolonialisme pada waktu itu dan usaha untuk mengubah keadaan masyarakat dalam jangkauan yang luas yaitu seluruh perempuan bangsa Indonesia. Salah satunya yaitu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia.
Sejarah Kongres Perempuan Indonesia
Kongres Perempuan Indonesia merupakan upaya usaha kaum perempuan menuju kehidupan perempuan yang lebih luas. Beberapa istri tokoh pergerakan nasional ibarat istri Ki Hajar Dewantoro, Sitti Sundari, Soejatin dan lain-lain, mempelopori untuk mengadakan perkumpulan perempuan Indonesia (gerakan perempuan). Unsur-unsur (seksi) kewanitaan pada organisasi cowok (umum) ibarat Wanito Tomo (Boedi Oetomo), Poetri Indonesia (Putra Indonesia), Wanita Taman Siswa (Taman Siswa) dan Putri Mardika, diajak bergabung.Sejarah dan Fakta Kongres Perempuan Indonesia |
Kongres Perempuan Indonesia I (22-25 Desember 1928)
Berkat usaha keras pelopor Kongres Perempuan Indonesia, maka Kongres pertama sanggup dilaksanakan pada 22 – 25 Desember 1928 di Yogyakarta (dahulu berjulukan Mataram). Kongres kaum perempuan untuk pertama kali ini dihadiri oleh perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia tanpa dilatarbelakangi oleh suku, agama, kelas, dan ras.Sejarah dan Fakta Kongres Perempuan Indonesia |
Beberapa perkumpulan perempuan yang hadir, antara lain Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika, Putri Indonesia dan lain-lain.
Susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia I (persiapan kongres dilakukan di Jakarta) adalah: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia I
- untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;
- pemerintah wajib menawarkan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya
- diadakan peraturan yang menawarkan tunjangan pada janda dan belum dewasa pegawai negeri Indonesia;
- memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang mempunyai kemampuan berguru tetapi tidak mempunyai biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;
- mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;
- mendirikan suatu tubuh yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari banyak sekali perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
Kongres Perempuan Indonesia II (20-24 Juli 1935)
Kongres Perempuan Indonesia II 1935 di adakan di Jakarta diketuai oleh Ny. Sri Mangunsarkoro. Kongres ke dua diikuti oleh tidak kurang dari 15 perkumpulan, di antaranya Wanita Nasrani Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya.Sejarah dan Fakta Kongres Perempuan Indonesia |
Hasil Kongres Perempuan Indonesia II
- mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia;
- tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini akan meningkatkan pemberantasan buta huruf;
- tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha mengadakan korelasi dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri;
- Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;
- Kongres memeriksa secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia berdasarkan aturan Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung agama Islam;
- Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi gres sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.
- Kongres Perempuan Indonesia menjadi tubuh tetap yang melaksanakan pertemuan secara berkala. Didirikan Badan Kongres Perempuan Indonesia untuk mengkoordinasi permintaan pertemuan. Dengan berdirinya tubuh tersebut maka PPII dibubarkan.
Kongres Perempuan Indonesia III (25-28 Juli 1938)
Kongres Perempuan Indonesia III 1938 diadakan di Bandung dan diketuai oleh Ny. Emma Puradiredja. Kongres ke tiga ini diikuti oleh banyak sekali perkumpulan perempuan Indonesia, di antaranya Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Nasrani dan Wanita Taman Siswa. Isu utama dalam kongres ini ini yaitu partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih.Pada ketika itu, pemerintah kolonial telah menawarkan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya yaitu Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di banyak sekali daerah. Akan tetapi lantaran perempuan belum mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak memilih.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia III
- Penetapan tanggal 22 Desember sebagai peringatan “Hari Ibu” dengan arti ibarat yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935;
- Membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam.
Kongres Perempuan Indonesia IV (Juli 1941)
Kongres Perempuan Indonesia IV dilaksanakan di Semarang dan ini diikuti oleh banyak sekali perkumpulan perempuan yang mengikuti kongres perempuan sebelumnya. Kongres keempat ini diketuai oleh Ny. Soenarjo Mangunpuspito.Hasil Kongres Perempuan Indonesia IV
- menyetujui agresi Gapi (Gabungan Politik Indonesia) dengan mengajukan “Indonesia Berparlemen” pidato yang memuat tuntutan hak pilih dan dipilih dalam parlemen, yang ditujukan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
- mufakat dengan adanya milisi Indonesia
- menuntut biar perempuan pun selain dipilih dalam Dewan Kota juga mempunyai hak pilih;
- menyetujui diajarkannya pelajaran Bahasa Indonesia dalam sekolah menengah dan tinggi;
- dibentuk empat tubuh pekerja:
- badan pekerja pemberantasan buta huruf
- badan pekerja penyelidik persoalan tenaga kerja perempuan
- badan pekerja persoalan perkawinan aturan Islam
- badan pekerja memperbaiki ekonomi perempuan Indonesia.
Perempuan yang terlibat dalam Kongres Perempuan yaitu para perempuan zamannya. Perempuan yang menentukan untuk memakai kebebasannya untuk berjuang bagi masa depan bangsa Indonesia, khususnya perempuan. Saat ini, Badan Kongres Perempuan Indonesia itu berubah nama menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Referensi: Umi. L, “Kongres Koalisi Perempuan, Gerakan Kebangkitan Perempuan Indonesia” bahan Kongres Koalisi Perempuan Indonesia 1998, Yogyakarta
Berikut 5 fakta wacana kongres pertama perempuan Indonesia.
Pertama, siapa yang menghadiri KongresMerujuk ke reportase Kongres Perempuan Pertama yang dibuat oleh koran Isteri, yang diterbitkan pada Mei 1929, disebutkan ada 1000 perempuan yang hadir di pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama.
Sedangkan laporan Rangkayo Khairul Syamsu Datuk Tumenggung alias Nj Toemenggoeng, sebagaimana dikutip oleh Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Sebuah Tinjauan, jumlah perempuan yang hadir di pertemuan itu sekitar 600 orang.
Perempuan-perempuan itu berasal dari 30 organisasi perempuan, ibarat Aisyiyah, Boedi Rini, Boedi Wanito, Darmo Laksmi, Jong Islamieten Bond, Jong Java, Karti Wara, Koesoemo Rini, Margining Kaoetaman, Nahdatoel Fataat, Panti Krido Wanito, Poetri Boedi Soedjati, Poetri Indonesia, Roekoen Wanodijo, Santjaja Rini, Sarekat Islam belahan Istri, Wanita Katholiek, Wanito Kentjono, Wanita Oetomo, Wanito Moeljo, Wanito Sedjati, dan Wanito Taman Siswa.
Kalau dilihat komposisi organisasi itu, sebagian besar berasal dari sayap organisasi nasional yang sudah ada, ibarat sayap Moehammadiyah (Aisyiyah), Jong Islamieten Bond, Sarekat Islam, PNI, Jong Java, Pemuda Indonesia, dan Taman Siswa. Juga organisasi perempuan berbasis agama, ibarat Nahdatoel Fataat, Wanita Katholiek, dan Wanita Moeljo.
Kedua, siapa Tokoh Yang Menonjol di Kongres itu?
Susan Blackburn mencatat ada 22 perempuan yang paling menonjol di Kongres itu, baik sebagai penggagas maupun yang berpidato di forum-forum umum Kongres.
Aktivis perempuan yang disebut penggagas Kongres itu yaitu perempuan lajang berusia 21 tahun, Sujatin Kartowijono. Dia yaitu penggagas Jong Java, yang belakangan mendirikan organisasi Poetri Indonesia.
Sujatin lalu berhasil mengajak dua tokoh perempuan yang lain, yaitu R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo dan Nyi Hadjar Dewantara dari Taman Siswa. Berkat pemberian kedua tokoh ini, ide Sujatin berterima di banyak organisasi perempuan, termasuk Aisyiyah.
Sujatin sendiri menceritakan, gagasan penyelenggaran Kongres itu tiba dari guru-guru perempuan muda yang terhimpun dalam Jong Java. Mereka terilhami oleh keberhasilan Kongres Pemuda pada bulan Oktober 1928.
Sementara tokoh yang menonjol di lembaga yaitu Siti Moendjijah dari Aisyiyah dan Siti Soendari dari Poetri Indonesia. Keduanya merajai forum-forum umum dengan keahlian beretorika dan berpidato.
Yang paling menonjol yaitu Siti Soendari. Selain gaya pidato dan retorikanya yang seakan menggandakan Sukarno, sehingga tampak berapi-api dan berkobar-kobar, tetapi isi pidatonya juga ditunjang oleh wawasan dan pengetahuan yang luas.
Ketiga, apa informasi yang lebih banyak didominasi di Kongres?
Isu yang lebih banyak didominasi diangkat dalam lembaga Kongres yaitu posisi dan hak perempuan dalam perkawinan, penolakan terhadap poligami, pendidikan perempuan, perhatian terhadap janda dan anak-yatim, dan perlunya pembentukan semacam tubuh bersama yang memayungi semua organisasi perempuan.
Keempat, apa yang informasi yang paling diperdebatkan di Kongres?
Isu yang paling diperdebatkan di Kongres yaitu soal posisi perempuan dalam perkawinan dan penolakan terhadap poligami. Dua informasi ini yang membelah penerima Kongres dan organisasi yang diwakilinya terbelah.
Organisasi perempuan berbasis Islam, terutama Aisyiah dan Jong Islamieten Bond, membela perkawinan Islam, termasuk poligami. Sebaliknya, organisasi perempuan berbasis nasionalis dan sekuler memperjuangkan reformasi terhadap Undang-Undang Perkawinan untuk memberi tempat kepada hak-hak perempuan, abolisi perkawinan anak, dan pelarangan poligami.
Dua kubu ini punya tokoh masing-masing yang tampil memukau di forum: dari barisan Islam ada Siti Moendjijah (Aisyiyah), sedangkan dari barisan nasionalis-sekuler ada Siti Soendari (Poetri Indonesia).
Dalam informasi pendidikan, kendati kedua kubu sama-sama menganggap perlu memperbanyak lembaga pendidikan untuk perempuan, tetapi agak berbeda dalam soal isian atau muatan kurikulumnya.
Nah, saking menajamnya perbedaan soal informasi perkawinan dan poligami, beberapa organisasi perempuan mengusulkan biar perdebatan pada tema itu diminimalkan. Sebab, semangat utama yang dikejar oleh Kongres yaitu persatuan.
Kelima, apa hasil Kongres Perempuan?
Meski diwarnai perdebatan sengit, tetapi Kongres tetap berhasil merumuskan beberapa keputusan penting: pertama, pembentukan tubuh permufakatan berjulukan Perikatan Perempuan Indonesia; kedua, pembentukan studiefonds untuk membantu pendidikan anak perempuan; ketiga, memperkuat pendidikan kepanduan; keempat, mencegah perkawinan anak-anak; kelima, mengirim mosi kepada pemerintah biar menawarkan dana untuk janda dan anak yatim; dan keenam, mengirim mosi kepada Majelis Agama biar tiap taklik dikuatkan dengan surat sesuai dengan anutan agama Islam.
Pencarian yang paling Populer
- siapakah penerima kongres perempuan indonesia
- dimanakah kongres perempuan indonesia dilaksanakan
- kapan kongres perempuan indonesia dilaksanakan
- kongres perempuan indonesia mikirbae
- siapa penerima kongres perempuan indonesia
- tujuan kongres perempuan indonesia
- apa hasil kongres perempuan indonesia 11
- apa hasil kongres perempuan indonesia 3